Halaman

Minggu, 19 Mei 2013

MAKALAH TENTANG REFORMASI PENDIDIKAN


REFORMASI PENDIDIKAN


A.    PENDAHULUAN
Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan ditanah air. Mengapa demikian ? karena sistem birokrasi selalu menempatkan kekuasaan sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan. Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi yang “menggurita” sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah, bahkan terkesan semakin buruk dalam era desentralisasi ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang “dikendalikan”. Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari=hari yang menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, meraka ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan  dalam bentuk juklak dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan objektif dimasing-masing sekolah. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kekuasaan birokrasi persekolahan telah membuat sistem pendidikan kita tidak pernah terhenti dari keterpurukan.
Kekuasaan birokrasi jugalah yang menjadi faktor sebab dari menurunnya semangat dari partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan disekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat, dan merekalah yang membangun dan memelihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan, serata iuran untuk mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun, masyarakat hanya meminta guru-guru kepada pemerintah untuk diangkat pada sekolah tersebut. Pada waktu itu, kita sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang berkelanjutan (sustainable development), karena sekolah adalah sepenuhnya milik masyarakat yang senatiasa bertanggung jawab dalam pemeliharaan serta operasional pendidikan sehari-hari. Ada waktu itu, pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang, melalui pemberian subsidi bantuan bagi sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-benar kurang mampu.
Namun, keluarnya inpres SDN No. 10/1973 adalah titik awal dari keterpurukan sistem pendidikan, terutama sistem persekolahan di tanah air. Pemerintah telah mengambil alih “kepemilikan” sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratik bahkan sentralistik. Sejak itu, secara perlahan “ rasa memiliki” dari masyarakat terhadap sekolah menjadi pudar bahkan akhirnya menghilang. Peran masyarakat yang sebelumnya “bertanggung jawab”, mulai berubah menjadi hanya “berpartisipasi” terhadap pendidikan, selanjutnya masyarakat bahkan menjadi “asing” terhadap sekolah. Semua sumber daya pendidikan ditanggung oleh pemerintah dan seolah tidak ada alas an bagi masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi apalagi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
B.     MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH SEBAGAI PARADIGMA BARU PENGELOLAAN PENDIDIKAN.
Pergeseran paradigma pengelolaan pendidikan dasar dan menengah telah tercermin dalam visi pembangunan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN (1999) : “mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan berkualitas guna mewujudkan bangsa yang berakhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, disiplin, bertanggung jawab, terampil, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi”. Amanat GBHN ini menyiratkan suatu kekhawatiran yang mendalam dari berbagai komponen bangsa tehadap prestasi sitem pendidikan nasional yang kini tampak mulai menurun dalam mempersiapkan SDM yang tangguh dan mampu bersaing di era tanpa batas kedepan.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memang bisa disebut suatu pergeseran paradigm dalam pengelolaan pendidikan, namun tidak berarti paradigma ini “baru” sama sekali, karena sebelumnya kita pernah memiliki Inpres No. 10/1973. Sekolah-sekolah dikelola secara mikro dengan sepenuhnya diperankan oleh kepala sekolah dan guru-guru sebagai pengelola dan pelaksana pendidikan pada setiap sekolah yang juga tidak terpisahkan dari lingkungan masyarakat. MBS bermaksud “mengembalikan” sekolah kepada pemiliknya, yaitu masyarakat, yang diharapkan akan merasa bertanggung jawab kembali sepenuhnya terhadap pendidikan yang diselenggarakan disekolah-sekolah.
Sisi moralnya adalah bahwa hanya sekolah dan masyarakatlah yang paling mengetahui berbagai persoalan pendidikan yang dapat menghambat peningkatan mutu pendidikan. Dengan demikian, merekalah yang seharusnya menjadi pelaku utama dalam membangun pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakatnya. Hanya kepala sekolah yang paling mengetahui apakah guru bekerja baik, apakah buku-buku kurang, apakah perpustakaan digunakan, apakah sarana pendidikan masih layak dipakai, dan sebagainya. Kepala sekolah dapat “berunding" dengan masyarakat untuk memecahkan berbagai persoalan pendidikan bersama-sama termasuk mengatasi kekurangan sarana pendidikan.
Disisi lain, hanya guru-gurulah yang paling memahami, mengapa prestasi belajar murid-muridnya menurun, mengapa sebagian murid bolos atau putus sekolah, metode mengajar apakah yang  efektif, apakah kurikulumnya dapat dilaksanakan, dan sebagainya. Guru-guru bersama kepala sekolah dapat bekeja sama untuk memecahkan masalah-masalah yang mencangkup proses pembelajaran tersebut. Untuk itu, kepala sekolah dan guru-guru harus dikembangkan kemampuannya dalam melakukan kajian serta analisis agar semakin peka dan memahami dengan cepat cara-cara pemecahan masalah pendidikan di sekolahnya masing-masing.
Dengan MBS, pemecahan masalah internal sekolah, baik yang mencangkup proses pembelajaran maupun sumber daya pendukungnya cukup dibicarakan di dalam sekolah dengan masyarakatnya, sehingga tidak perlu diangkat ketingkat pemerintah daerah apalagi ke tingkat pusat yang “jauh panggang dari api” itu. Tugas pemerintah ( pusat dan daerah) adalah memberikan fasilitas dan bantuan pada saat sekolah dan masyarakat menemui jalan buntu dalam suatu pemecahan masalah. Fasilitas ini mungkin berbentuk capacity building, bantuan teknis pembelajaran atau manajemen sekolah, subsidi bantuan sumber daya pendidikan, serta kurikulum nasional dan pengendalian mutu pendidikan, baik tingkat daerah maupun nasional. Agar dapat memberikan fasilitas secara objektif, pemerintah perlu didukung oleh sistem pendataandan pemetaan mutu pendidikan yang andal dan terbakukan secara nasional.

C.    MENUJU OTONOMI PADA TINGKAT SEKOLAH-SEKOLAH
Paradigma MBS beranggapan bahwa satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan. Kepala sekolah,guru, dan masyarakat adalah pelaku utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala keputusan mengenai penanganan persoalan pendidikan apda tingakat mikro harus dihasilkan dari interaksi ketiga pihaktersebut. Masyarakat adalah stakeholder pendidikan yang memiliki kepentingan akan keberhasilan . pendidikan disekolah, karena mereka adalah pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah maupun pajak, sehingga sekolah-sekolah seharusnya bertanggung jawab terhadap masyarakat.
Namun demikian, entitas yang disebut “masyarakat” sangat kompleks dan tak terbatas (borderless) sehingga sangat sulit bagi sekolah untuk berinteraksi dengan masyarakat sebagai stakeholder pendidikan. Untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah, konsep masyarakat perlu disederhanakan (simplified) agar menjadi mudah lagi sekolah melakukan hubungan dengan masyarakat tersebut.
Penyederhanaan konsep masyarakat tersebut dilakukan melalui “perwakilan” fungsi stakeholder, dengan jalan membentuk Komite Sekolah (KS) pada setiap sekolah dan Dewan Pendidikan (DP) disetiap kabupaten/kota. DP-KS sedapat mungkin bisa merepresentasikan keragaman yang ada agar benar-benar dapat mewakili masyarakat. Dengan demikian, interaksi antara sekolah dan masyarakat dapat diwujudkan melalui mekanisme pengambilan keputusan antara sekolah-sekolah dengan Komite Sekolah, dan interaksi antara para pejabat pendidikan dipemerintah kabupaten/kota dengan Dewan Pendidikan. Dalam fungsi yang melekat pada DP dan KS, yaitu fungsi pemberi pertimbangan dalam pengambilan keputusan, fungsi control dan akuntabilitas public, fungsi pendukung (supports), serta fungsi mediator antara sekolah dengan masyarakat yang diwakilinya.
Kemandirian setiap satuan pendidikan adalah salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan sehingga sekola-sekolah menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya. Namun, tentu saja pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati serta mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan didalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan transparan.
Palaksanaan desentralisasi pendidikan sebaiknya tidak dilakukan melalui suatu mekanisme penyerahan “kekuasaan birokrasi” dari pusat ke daerah, karena kekuasaan telah terbukti gagal dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Melalui strategi “desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan”, depdiknas tidak hanya berkepentingan dalam mengembangkan kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan, tetapi juga berkepentingan dalam mewujudkan otonomi satuan pendidikan, Depdiknas memiliki keleluasaan untuk membangun kapasitas setiap penyelenggara pendidikan, yaitu sekolah-sekolah. MBS mengembangkan satuan-satuan pendidikan secara otonom karena mereka adalah pihak yang paling mengetahui operational pendidikan. Sesuai dengan strategi ini,  sekolah bukan bawahan dari birokrasi pemerintah daerah, tetapi sebagai lembaga profesional yang bertanggung jawab terhadap klien atau stakeholder yang diwakili oleh Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Keberhasilan pendidikan disekolah tidak diukur dari pendapat para birokrat, tetapi dari kepuasan masyarakat atau stakeholder. Fungsi pemerintah adalah fasilitator untuk mendorong sekolah-sekolah agar berkembang menjadi lembaga profesional dan otonom sehingga mutu pelayanan mereka memberi kepuasan terhadap komunitas basisnya, yaitu masyarakat.
Perlu juga dipahami bahwa pengembangan paradigma MBS bukanlah kelanjutan apalagi “kemasan baru” dari Badan Pembantu Pelaksana Pendidikan (BP3). Adalah keliru jika DP dan KS adalah alat untuk “panarikan iuran”, karena “penarikan iuran” yang dilakukan oleh BP3 terbukti tedak berhasil memobilisasi partisipasi dan tanggung jawab masyarakat. Akan tetapi, yang harus lebih dipahami adalah fungsi dewan dan Komite sebagai jembatan antara sekolah dan masyarakat. Sekolah yang hanya terbatas personalianya, akan sangat dibantu jika dibuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk ikut memikirkan pendidikan di sekolah-sekolah. Sekolah yang sangat tertutup bagi kontribusi pemikiran dari masyarakat harus kita akhiri, dan dengan MBS dibuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut serta memikirkan pendidikan di sekolah. Dengan konsep MBS, masyarakat akan merasa memiliki dan mereka akan merasa bertanggung jawab untuk keberhasilan pendidikan didalamnya. Jika ini dapat diwujudkan, jangankan “iuran”, apapun yang meraka miliki ( uang, barang, tenaga, pikiran, bahkan kesempatan) akan mereka abdikan untuk kepentingan pendidikan anak-anak bangsa yang berlangsung di sekolah-sekolah.
Namun, untuk sampai pada kemampuan untuk mengurus dan mengatur penyelengaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan, diperlukan program yang sistimatis dengan melakukan capacity building. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan setiap setuan pendidikan secara berkelanjutan, baik untuk melaksanakan peran-peran manajemen pendidikan maupun peran-peran pembelajaran, sesuai dengan butir-butir yang disebut diatas. Namun, kegiatan capacity building tersebut perlu dilakukan secara sistimatis melalui penahapan sehingga menjadi proses yang dilakukan secara berkesinambungan arahnya menjadi jelas (straight foreward) dan terukur (measurable). Terdapat emapt tahapan pokok yang perlu dilalui dalam pelaksanaan capacity building bagi setiap satuan pendidikan. Masing-masing tahap pengembangan dilakukan terhadap setiap kelompok satuan pendidikan yang memiliki karakteristik atau tahap perkembangan yang setara. Capacity building dilakukan untuk meningkatkan (up-grade) suatu kelompok satuan pendidikan pada tahap perkembangan tertentu ke tahap berikutnya. Keempat tahap perkembangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.      Tahap Paraformal
Satuan pendidikan yang termasuk kedalam kelompok ini adalah yang belum memenuhi standar teknis, yaitu belum dapat memiliki sumber-sumber pendidikan (misalnya guru, prasarana, sarana pendidikan, dan sebagainya) yang memadai untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan secara minimal. Akibat dari kurangnya sumber-sumber pendidikan, satuan pendidikan ini belum memenuhi standar teknis sebagai persyaratan minimal persatuan pendidikan yang siap untuk dikembangkan kemampuannya. Untuk dapat mulai dikembangkan kemampuannya, satuan-satuan pendidikan ini perlu dilengkapi fasilitas minimal pendidikannya terlebih dahulu agar dapat dinaikkan tahap berikutnya, yaitu tahap formalitas.

2.      Tahap Formalitas
Satuan pendidikan yang masuk ke dalam kelompok ini adalah mereka yang sudah memiliki sumber-sumber pendidikan yang memadai secara minimal. Satuan-satuan pendidikan ini sudah mencapai standar teknis secara minimal, seperti dalam jumlah dan kualifikasi guru, jumlah dan kualitas kelas, jumlah dan kualitas buku pelajaran, serta jumlah dan kualitas fasilitas pendidikan lainnya.
Terhadap satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai standar minimal teknis ini, capacity building dilakukan melalui peningkatan kemampuan administrator (seperti kepala sekolah) dan pelaksana pendidikan ( seperti guru-guru, instruktur, tutor dan sebagainya) agar dapat melaksanakan pengelolaan  pendidikan secara efesien serta dapat menyelenggarakan proses pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Jika pengembangan kemampuan ini sudah berhasil dilakukan maka satuan-satuan pendidikan ini dapat ditingkatkan ketahap  perkembangan berikutnya,yaitu tahap transisional.
Keberhasilan satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap ini diukur dengan menggunakan standar pelayanan minimum tingkat sekolah, terutama yang menyangkup ukuran-ukuran output pendidikan, seperti tingkat penurunan putus sekolah, penurunan mengulang kelas, tingkat kemampuan para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah.

3.      Tahap Transisional
Satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini adalah yang sudah mampu memberikan pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti kemampuan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal, meningkatnya kreativitas guru, pendayagunaan perpustakaan sekolah secaraa optimal, kemampuan untuk menambah anggaran dan dukungan fasilitas pendidikan dari sumber masyarakat, dan kemampuan lainnya yang mendukung best practices pelayanan pendidikan pada setiap satuan pendidikan. Jika satuan-satuan pendidikan sudah mencapai tahap transisional, selanjutnya dapat dinaikkan kelasnya ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu tahap otonom (meaning).

4.      Tahap Otonomi
Satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini dapat dikategorikan sebagai tahap penyelesaian capacity building menuju profesionalisme satuan pendidikan dan pelayanan pendidikan yang bermutu. Jika sudah mencapai tahap otonom, setiap satuan pendidikan sudah mampu memberikan pelayanan diatas SPM sekolah (yaitu Standar Kompetensi Minimum) dan akan bertanggung jawab terhadap klien serta stakeholder pendidikan lainnya.

Darai tahap-tahap perkembangan tersebut, capcity building dilakukan dengan strategi yang berbeda-beda antara kelompok satuan pendidikan satu dengan satuan pendidikan lainnya. Strategi tersebut adalah sebagai berikut.
a.       Terhadap kelompok satuan pendidikan pada tahap praformal, strategi capacity building dilakukan umumnya melalui upaya memperlengkapi satuan pendidikan dengan sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan mereka secara minimal, tetapi memadai untuk dapat mencapai tahap perkembangan berikutnya.
b.      Terhadap kelompok satuan pendidikan yang sudah mencapai standar teknis (tahap formalitas), strategi capacity building dilakukan melalui pelatihan dan pengembangan kemampuan tenaga kependidikan, seperti kepala sekolah agar mampu mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal dengan tanpa banyak pemborosan. Bagi tenaga pengajar dikembangkan kemampuan mereka untuk dapat melaksanakan proses pengajaran secara kreatif dan inovatif, serta dapat melakukan penelitian terhadap pendekatan pembelajaran yang paling efektif. Jika satuan pendidikan sudah mencapai kemampuan ini, mereka dapat ditingkatkan ketahap perkembangan berikutnya, yaitu tahap transisional.
c.       Terhadap satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap transisional, perlu dikembangkan sistem manajemen berbasis sekolah yang didukung oleh partisipasi masyarakat dalam pendidikan serta mekanisme akuntabilitas pendidikan melalui fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Jika manajemen berbasis sekolah, partisipas masyarakat, dan akuntabilitas pendidikan dapat dikembangkan maka  satuan pendidikan sudah dapat dinaikkan kelasnya ke tahap otonomi.
d.      Strategi yang sangat mendasar dalam capacity building adalah pengembangan sisitem indikator yang dapat mengukur ketercapaian standar teknis dan standar minimal pelayanan pendidikan disetiap satuan pendidikan. Sistem indicator ini perlu didukung oleh sisitem pendataan pendidikan yang akurat, relevan, lengkap dan tepat waktu agar setiap saat dapat diukurdan dilakukan monitoring terhadap tahap perkembangan yang sudah dicapai oleh masing-masing satuan pendidikan. Sistem pendataan ini harus dilakukan dari tingkat satuan pendidikan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi sampai dengan tingkat nasional.


D.    PENGELOLAAN PENDIDIKAN PADA TINGKAT SEKOLAH
Peran dan fungsi peran pendidikan dan Komite Sekolah tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan manajemenpendidikan ditingkat sekolah. Beberapa aspek manajemen yang secara langsung dapat diserahkan sebagai urusan yang menjadi kewenangan tingkat sekolah adalah sebagai berikut:
Pertama , menetapkan visi,misi,strategi,tujuan,logo,lagu,dan tata tertib sekolah. Urusan ini amat penting sebagai modal dasar yang harus dimiliki sekolah. Setiap sekolah hendaknya telah dapat menyusun dan menetapkan sendiri visi,misi,strategi,tujuan,logo,lagu,dan tata tertib sekolah. Jika masa lalu sekolah lebih dipandamg sebagai lembaga birokrasi yang selalu menunggu perintah dan petunjuk dari atas,dalam era otonomi daerah ini sekolah harus telah memiliki kesadaran untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Dalam hal ini,sekolah harus menjalin kerja sama sebaik mungkin dengan orang tuadan masyarakat sebagai mitra kerjanya. Bahkan dalam menyusun program kerjanya sebagai penjabaran lebih lanjut dari visi,misi,strategi dan tujua sekolah tersebut,orang tua dan masyarakat yang tergabung dalam Komite Sekolah serta seluruh warga sekolah harus dilibatkan secara aktif dalam menyusun program kerja sekolah ,dan sekaligus lengkap dengan Rencana Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
Kedua ,memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tersedia ,fasilitas yang ada,jumlah guru,dan tenaga administratif yang dimiliki. Berdasarkan sumber daya pendukung yang dimilikinya,sekolah secara bertanggung jawab harus dapat menentukan sendiri jumlah siswa yang akan diterima,syarat siswa yang akan diterima ,dan persyaratan lain yang terkait. Beberapa ketentuan yang ditetapkan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota tentu saja perlu mendapatkan pertimbangan secara bijak.
Ketiga ,menetapkan kegiatan imtrakurikuler dan ekstrakurikuler yang akan diadakan dan dilaksanakan oleh sekolah. Dalam hal ini,dengan mempertimbangkan kepentingan daerah dan masa depan lulusannya,sekolah perlu diberikan kewenangan untuk melaksanakan kurikulum nasional dengan kemungkinan menambah atau mengurangi muatan kurikulum dengan meminta pertimbangan kepada Komite Sekolah. Kurikulum muatan lokal ,misalnya dalam mengambil kebijakan untuk menambah mata pelajaran seperti Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya ,komputer,dan sebagainya. Kebijak tersebut diambil setelah meminta pertimbangan dari Komite Sekolah,termasuk resiko anggaran yang diperlukannya. Dalam kaitannya dengan penetapan kegiatan ekstrakurikuler ,sekolah juga harus meminta pendapat siswa dalam menentukan kegiatan ekstrakurikuler yang akan diadakan olehsekolah.
Oleh karena itu,sekolah dapat melakukan pengelolaan biaya operasional sekolah,baik yang bersumber dari pemerintah Kabupaten /Kota maupun dari masyarakat secara mandiri. Untuk mendukung program sekolah yang telah disepakati oleh Komite Sekolah diperlukan ketepatan waktu dalam pencairan dana dari pemerintah kabupaten/kota. Oleh karena itu , praktik birokrasi yang menghambat kegiatan sekolah harus dikurangi.
Keempat ,pengadaan sarana dan prasarana pendidikan,termasuk buku pelajaran dapat diberikan kepada sekolah ,dengan memperhatikan standar dan ketentuan yang ada. Misalnya buku murid tidak seenaknya diganti oleh sekolah ,atau buku murid yang akan dibeli oleh sekolah adalah yang telah lulus penilaian. Pemilihan dan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah dapat dilaksanakan oleh sekolah ,dengan tetap mengacu pada standar dan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat atau Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Kelima ,penghapusan barang dan jasa dapat dilaksnakan sendiri oleh sekolah ,dengan mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah Provinsi dan Kabupaten. Hal yang biasa terjadi ,karena kewenangan penghapusan itu tidak jelas,barang dan jasa yang ada di sekolah tidak pernah dihapuskan,meskipun ternyata barang dan jasa sama sekali telah tidak berfungsi atau malah telah tidak ada barangnya.
Keenam , proses pengajaran dan pembelajaran ,ini merupakan kewenangan profesional sejati yang dimiliki oleh lembaga pendidikan sekolah. Kepala sekolah dan guru secara bersama-sama merancang proses pengajaran dan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan lancar dan berhasil. Proses pembelajaran yang aktif,kreatif,efektif,dan menyenangkan direkomendasikan sebagai model pembelajaran yang akan dilaksanakan oleh sekolah. Pada masa sentralisasi pendidikan ,proses pembelajaran pun diatur secara rinci dalam kurikulum nasional. Dalam era otonomi daerah ,kurikulum nasional sedang dalam proses penyempurnaan menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dengan KBK ini,diharapkan para guru tidak akan terpasung lagi kreativitasnya dalam melaksanakan dan mengembangkan kurikulum.
Ketujuh ,urusan teknis edukatif yang lain sejalan dengan konsep Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS),merupakan urusan yang sejak awal harus menjadi tanggung jawab dan kewenangan setiap satuan pendidikan.

E. PEMBERDAYAAN KOMITE SEKOLAH DAN DEWAN PENDIDIKAN
            Desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah merupakan satu bentuk desentralisasi yang langsung sampai ke ujung tombak pendidikan dilapangan. Jika kantor cabang dinas pendidikan kecamatan dan dinas pendidikan Kabupaten/Kota lebih memiliki peran sebagai fasilitator dalam proses pembinaan ,pengarahan,pemantauan,dan penilaian maka sekolah seharusnya diberikan peran nyata dalam perencanaan ,pelaksanaan dan pelaporan. Hal ini disebabkan oleh proses interaksi edukatif di sekolah merupakan inti dari proses pendidikan yang sebenarnya. Oleh karena itu ,bentuk desentralisasi pendidikan yang paling mendasar adalah yang dilaksanakan oleh sekolah,dengan menggunakan Komite Sekolah sebagai wadah pemberdayaan peran serta masyarakat dan dengan menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai proses pelaksanaan layanan pendidikan secara nyata di dalam masyarakat.
            Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25tahun 2000tentang Progran Pembangunan Nasional(propenas) 2000-2004,dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan peran serta   masyarakat perlu dibentuk Dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten atau kota da Komite Sekolah tingkat satuan pendidikan.  Amanat  rakyat ini sejalan dengan konsepsi desentralisasi pendidikan ,baik di tingkat Kabupaten/Kota   maupun di tingkat sekolah.Amanat rakyat dalam undang-undang tersebut telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam Kepmendiknas tersebut disebutkan bahwa peran yang harus diemban Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah sebagai :
1.      Advisory agency (pemberi pertimbangan)
2.      Supporting agency (pendukung kegiatan layanan pendidikan)
3.      Controling agency (pengontrol kegiatan layanan pendidikan )
4.      Mediator (penghubung atau pengait tali komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah)
Untuk dapat memberdayakan dan meningkatkan peran masyarakat ,sekolah harus dapat membina kerja sama dengan oarng tua dan masyarakat,menciptakan suasana kondusif dan menyenangkan bagi peserta didik dan warga sekolah. Itulah sebabnya paradigma MBS mengandung makna sebagai manajemen partisipatif yang melibatkan peran sereta masyarakat sehingga semua kebijakan dan keputusan yang diambil adalah kebijakan dan keputusan bersama. Dengan demikian ,prinsip kemandirian dalam MBS adalah kemandirian dalam nuansa kebersamaan. Hal ini merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip yang disebut sebagai total quality management  ,melalui suatu mekanisme yang dikenal dengan konsepsi total football dengan menekankan pada mobilisasi kekuatan secara sinergis yang mengarah pada satu tujuan,yaitu peningkatan mutu dan kesesuaian pendidikan dengan pengembangan masyarakat.
1.      Penyusunan Rencana dan Program
Sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan ,sekolah bertanggung jawab dalam menentukan kebijakan sekolah dalam melaksanakan kebijakan pendidikan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Sebagai penyelenggara dan pelaksana kebijakan pendidikan nasional,sekolah bertugas menjabarkan kebijakan pendidikan nasional menjadi program-program operasional penyelenggara pendidikan di masing-masing sekolah. Program-program tersebut terdiri dari penyusunan dan pelaksanaan rencana kegiatan mingguan ,bulanan,semesteran,sertatahunan yang sesuai dengan arah kebijakan serta kurikulum yang telah ditetapkan,baik pada tingkat pusat,provinsi ,maupun Kabupaten/Kota. Setiap rencana dan program yang disusun serta dilaksanakan di sekolah harus mengacu pada standar pelayanan minimum (SPM) yang diperankan untuk pemerintahan Kabupaten/Kotaserta standar teknis yang diterapkan untuk masing-masing satuan pendidikan. Untuk dapat memerankan fungsi ini ,Komite Sekolah menjadi “pendamping”bahkan “penyeimbang”bagi sekolah-sekolah. Oleh karena itu setiap rencana dan program yang disusun oleh sekolah dapat diberikan masukan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat yang diwakili oleh Komite Sekolah yang dimaksud. Atas nama masyarakat yang diwakilinya ,Komite Sekolah dapat menyatakan “setuju”atau “tidak setuju”terhadap rencana dan program pendidikan yang disusun oleh sekolah.
Selain melaksanakan kurikulum yang telah ditetapkan dari pusat, provinsi,dan Kabupaten/Kota ,sekolah-sekolah dapat juga menyusun program pendidikan life skills yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan pada masyarakat sekitar. Dalam penyusunan program pendidikan life skills. Komite Sekolah dapat membantu sekolah-sekolah untuk mengumpulkan fakta-fakta mengenai kebutuhan serta potensi sumber daya yang tersediadi dalam masyarakat untuk diterjemahkan kedalam program pendidikan life skills yang dapat dilaksanaka oleh sekolah. Mekanisme yang mungkin dapat dilakukan adalah melalui rapat Komite Sekolah dengan sekolah yang akan dilaksanakan setiap semester atau tahunan,untuk menyusun ,memperbaiki serta menyesuaikan rencana dan program semester berikutnya.
2.      Penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS)
Dalam fungsinya sebagai pelaksana pendidikan yang otonom ,sekolah berperan dalam menyusun RAPBS setiap akhir tahun ajaran untuk digunakan dalam tahun ajaran berikutnya. Program-program yang sudah dirumuskan untuk satu semester atau satu ajaran ke depan perlu dituangkan ke dalam kegiatan-kegiatan serta anggarannya masing-masing sesuai dengan pos-pos pengeluaran pendidikan ditingkat sekolah. Dari sisi pendapatan ,seluruh jenis dan sumber pendapatan yang diperoleh sekolah setiap tahun harus dituangkan dalam RAPBS ,baik yang bersumber dari pemerintah pusat ,pemerintah provinsi ,pemerintah Kabupaten/Kecamatan ,maupun sumber-sumber lain yang di peroleh secara langsung oleh sekolah-sekolah.  Dengan demikian, setiap rupiah yang diperoleh sekolah dari sumber-sumber tersebut harus sepenuhnya diperhitungkan sebagai pendapatan resmi sekolah dan diketahui bersama ,baik oleh pihak sekolah ( kepala sekolah,guru-guru,pegawai,serta para siswa)maupun oleh Komite Sekolah sebagai wakil stakeholder pendidikan.
            Dari sisi belanja sekolah,seluruh jenis pengeluaran untuk kegiatan pendidikan di sekolah harus diketahui bersama,baik oleh pihak sekolah maupun oleh pihak Komite Sekolah,sesuai dengan rencana dan program yang telah disusun bersama oleh kedua pihak tersebut. Kedua sisi anggaran tersebut dituangkan ke dalam suatu neraca tahunan sekolah disebut dengan RAPBS,yang harus disahkan atas dasar persetujuan bersama antara pihak sekolah dan Komite Sekolah yang ditandatangani oleh kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah sehingga menjadi APBS pendidikan di tingkat sekolah yang resmi. Mekanisme ini diperlukan untuk memperkecil penyalahgunaan,baik dalam pendapatan maupun dalam pengeluaran sekolah sehingga anggaran resmi pendidikan di sekolah menjadi bertambah serta pendayagunaannya semakin efisien.
3.Penyalahgunaan Program Pendidikan
            Sistem pendidikan pada masa orde baru,pelaksanaan pendidikan secara langsung dikendalikan oleh sistem birokrasi dengan mata rantai yang panjang mulai dari tingkat pusat,daerah,bahkan sampai tingkat satuan pendidikan. Pada waktu itu,sekolah-sekolah adalah bagian dari sistem birokrasi yang harus tunduk terhadap ketentuan birokrasi. Pengaturan penyelenggaraan pendidikan pada masa birokrasi dilakukan secara uniform (one first for all)atau dilakukan secara baku dengan pengaturan dari pusat ,mulai dari perencanaan pendidikan di sekolah termasuk persiapan mengajar,metodologi dan pendekatan mengajar,buku dan sarana pendidikan,sampai pada penilaian pendidikan. Dengan kata lainkepada sekolah-sekolah tidak diberikan kesempatan untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri dalam pelaksanaan pendidikan. Kepala sekolah tidak diberikan kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri dalam mengelola sistem pendidikan untuk memecahkan berbagai permasalahan pendidikan yang sesuai dengan kondisi sekolahnya masing-masing. Kepada guru-guru juga tidak diberikan kesempatan untuk berinisiatif atau berinovasi dalam melaksanakan pengajaran atau pengelola kegiatan belajar murid secara maksimal karena metode mengajar dan teknik evaluasi diatur secara langsung melalui juklak dan juknis yang dibuat dari pusat.
            Dalam masa desentralisasi pendidikan ke depan,melalui paradigma MBS sekolah-sekolah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengurus dan mengatur pelaksanaan pendidikan pada masing-masing sekolah. Pelaksanaan pendidikan di sekolah-sekolah dalam tempat yang berlainan dimungkinkan untuk menggunakan sistem dan pendekatan pembelajaran yang berlainan. Kepala Sekolah diberikan keleluasaan untuk mengelola pendidikan dengan jalan mengadakan serta memanfaatkan sumber-sumber daya pendidikan sendiri-sendiri asalkan sesuai dengan kebujakan dan standar yang ditetapkan oleh pusat. Dikarenakan karakteristik setiap murid juga berbeda-beda secara individual maka pendekatan pembelajaran pun dimungkinkan berbeda untuk masing-masing murid yang berlainan.
            Dalam keadaan seperti itu maka Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah akan dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai penunjang dalam pelaksanaan proses pembelajaran yang sejalan denga kondisi dan permasalahan lingkungan masing-masing sekolah. Komite Sekolah dapat melaksanakan fungsinya sebagai partner dari kepala sekolah dalam mengadakan sumber-sumber daya pendidikan dalam rangka melaksanakan pengelolaan pendidikan yang dapat memberikan fasilitas bagi guru-guru dan murid untuk belajar sebanyak mungkin,sehingga pembelajaran menjadi semakin efektif. Komite sekolah bisa ikut serta untuk meneliti berbagai permasalahan belajar yang dihadapi oleh murid secara kelompok maupun secara individual sehingga dapat membantu guru-guru untuk menerapkan pendekatan belajar yang tepat bagi murid-muridnya. Dewan pendidikan pada setiap Kabupaten/Kota dapat melaksanakan program pendukungan dalam bentuk studi atau penelitian terhadap berbagai permasalahan pendidikan di sekolah-sekolah agar dapat memberikan masukan kepada Dinas Kabupaten/Kota untuk menerapkan suatu kebijakan yang tepat dan kena sasaran. Dewan Pendidikan juga dapat memberikan penilaian kepada berbagai kebijakan pendidikan yang diterapkan,terutama menyangkut berbagai dampak yang sudah atau mungkin terjadi dalam penerapan suatu kebijakan baru.
            4.  Akuntabilitas Pendidikan
            Pada masa orde baru,satu-satunya pihak yang berwenang untuk meminta pertanggungjawaban pendidikan ke sekolah-sekolah adalah pemerintah pusat. Pada waktu itu,pemerintah pusat telah menempatkan “kaki tangan” nya di seluruh pelosok tanah air melalui pemeriksa,pengawas,atau para penilik sekolah untuk mengawasi dan meminta pertanggungjawaban sekolah-sekolah mengenai proses pendidikan yang berlangsung di sekolah-sekolah. Jika terdapat “penyimpangan administratif’yang dilakukan oleh kepala sekolah atau guru-guru maka kepada mereka diberikan sanksi administratif,seperti teguran resmi,penilaian melalui DPK,penundaan kenaikan gaji berkala,penundaan kenaikan pangkat,dan sejenisnya. Namun penilaian tersebut lebih banyak diberikan terhadap proses administrasi pendidikan dan hampir tidak pernah ada sanksi ( punishment) atau ganjaran (reward) kepada guru-guru atau kepala sekolah atas dasar hasil-hasil yang dicapai dalam pembelajaran murid atau lulusan.
            Dalam era demokrasi dan pertisipasi,akuntabilitas pendidikan tidak hanya terletak pada pemerintah,tetapi bahkan harus lebih banyak pada masyarakat sebagai stakeholder pendidikan. Dewan pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota perlu menempatkan fungsinya sebagai wakil dari masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban atas hasil pendidikan dalam mencapai prestasi belajar murid-murid pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Dewan pendidikan perlu diberikan kesempatan untuk menyampaikan masukan bahkan “protes” kepada Dinas Pendidikan jika hasil pendidikannya tidak memuaskan masyarakat sebagai klien pendidikan. Sama halnya, Komite Sekolah dapat menyampaikan ketidakpuasan para orang tua murid akan rendahnya prestasi yang dicapai oleh suatu sekolah. Dewan Pendidikan /Komite Sekolah tidak perlu melaksanakan kegiatan studi atau penilaian pendidikan tetapi cukup dengan menggunakan data –data yang tersedia atau hasil-hasil penilaian yang sudah ada sebagai bahan untuk menyampaikan kepuasan atau ketidakpuasan masyarakat terhadap Dinas Pendidikan atau kepada masing-masing sekolah. Dengan demikian,diperlukan suatu mekanisme akuntabilitas pendidikan yang dibentuk melalui suatu Peraturan Daerah di bidang pendidikan.

E.      PENUTUP
Keberhasilan dalam pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah sebuah keniscayaan yang perlu dilakukan secara teliti,cermat,dan terus-menerusnamun perlu diwaspadai pemberdayaan DP dan KS tersebut tidak mengarah pada perwujudan birokrasi baru. Yang diharapkan justru sebaliknya,kehadiran DP dan KS adalah untuk mengurangi bahkan mengikis berbagai dampak negatif dari birokratisasi yang sangat menggejala di masa-masa lalu. Sesuai dengan undang-undang berlaku ,pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah ,tetapi juga adalah menjadi tanggungjawab keluarga dan masyakat. DP dan KS pada intinya adalah wakil masyarakat dan keluarga yang dapat menjadi jalan masuk yang tepat agar masyarakat dapat berpartisipasi dan rasa ikut memiliki terhadap sistem pendidikan yang berlangsung di sekolah-sekolah yang ada di lingkungannya masing-masing
                                                                          
     

   

0 komentar:

Posting Komentar