REFORMASI PENDIDIKAN
A.
PENDAHULUAN
Sistem
pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan
sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan
keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan ditanah air. Mengapa demikian
? karena sistem birokrasi selalu menempatkan kekuasaan sebagai faktor yang
paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan. Sekolah-sekolah saat ini
telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi yang “menggurita” sejak kekuasaan
tingkat pusat hingga daerah, bahkan terkesan semakin buruk dalam era
desentralisasi ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang
paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang “dikendalikan”.
Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam
mengatasi berbagai persoalan sehari=hari yang menghadang upaya peningkatan mutu
pendidikan. Namun, meraka ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh
berbagai pembakuan dalam bentuk juklak
dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan objektif dimasing-masing
sekolah. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kekuasaan
birokrasi persekolahan telah membuat sistem pendidikan kita tidak pernah
terhenti dari keterpurukan.
Kekuasaan
birokrasi jugalah yang menjadi faktor sebab dari menurunnya semangat dari
partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan disekolah. Dulu,
sekolah sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat, dan merekalah yang membangun dan
memelihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan, serata iuran untuk mengadakan
biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun, masyarakat hanya
meminta guru-guru kepada pemerintah untuk diangkat pada sekolah tersebut. Pada
waktu itu, kita sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang
berkelanjutan (sustainable development),
karena sekolah adalah sepenuhnya milik masyarakat yang senatiasa bertanggung
jawab dalam pemeliharaan serta operasional pendidikan sehari-hari. Ada waktu
itu, pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang, melalui pemberian subsidi
bantuan bagi sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-benar kurang mampu.
Namun,
keluarnya inpres SDN No. 10/1973 adalah titik awal dari keterpurukan sistem
pendidikan, terutama sistem persekolahan di tanah air. Pemerintah telah
mengambil alih “kepemilikan” sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi
milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratik bahkan sentralistik.
Sejak itu, secara perlahan “ rasa memiliki” dari masyarakat terhadap sekolah
menjadi pudar bahkan akhirnya menghilang. Peran masyarakat yang sebelumnya
“bertanggung jawab”, mulai berubah menjadi hanya “berpartisipasi” terhadap
pendidikan, selanjutnya masyarakat bahkan menjadi “asing” terhadap sekolah.
Semua sumber daya pendidikan ditanggung oleh pemerintah dan seolah tidak ada
alas an bagi masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi apalagi bertanggung
jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
B.
MANAJEMEN
BERBASIS SEKOLAH SEBAGAI PARADIGMA BARU PENGELOLAAN PENDIDIKAN.
Pergeseran
paradigma pengelolaan pendidikan dasar dan menengah telah tercermin dalam visi
pembangunan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN (1999) : “mewujudkan
sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan berkualitas guna
mewujudkan bangsa yang berakhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan
kebangsaan, cerdas, sehat, disiplin, bertanggung jawab, terampil, serta
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi”. Amanat GBHN ini menyiratkan suatu
kekhawatiran yang mendalam dari berbagai komponen bangsa tehadap prestasi sitem
pendidikan nasional yang kini tampak mulai menurun dalam mempersiapkan SDM yang
tangguh dan mampu bersaing di era tanpa batas kedepan.
Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) memang bisa disebut suatu pergeseran paradigm dalam
pengelolaan pendidikan, namun tidak berarti paradigma ini “baru” sama sekali,
karena sebelumnya kita pernah memiliki Inpres No. 10/1973. Sekolah-sekolah
dikelola secara mikro dengan sepenuhnya diperankan oleh kepala sekolah dan
guru-guru sebagai pengelola dan pelaksana pendidikan pada setiap sekolah yang
juga tidak terpisahkan dari lingkungan masyarakat. MBS bermaksud
“mengembalikan” sekolah kepada pemiliknya, yaitu masyarakat, yang diharapkan
akan merasa bertanggung jawab kembali sepenuhnya terhadap pendidikan yang
diselenggarakan disekolah-sekolah.
Sisi
moralnya adalah bahwa hanya sekolah dan masyarakatlah yang paling mengetahui
berbagai persoalan pendidikan yang dapat menghambat peningkatan mutu
pendidikan. Dengan demikian, merekalah yang seharusnya menjadi pelaku utama
dalam membangun pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan
masyarakatnya. Hanya kepala sekolah yang paling mengetahui apakah guru bekerja
baik, apakah buku-buku kurang, apakah perpustakaan digunakan, apakah sarana
pendidikan masih layak dipakai, dan sebagainya. Kepala sekolah dapat
“berunding" dengan masyarakat untuk memecahkan berbagai persoalan
pendidikan bersama-sama termasuk mengatasi kekurangan sarana pendidikan.
Disisi
lain, hanya guru-gurulah yang paling memahami, mengapa prestasi belajar
murid-muridnya menurun, mengapa sebagian murid bolos atau putus sekolah, metode
mengajar apakah yang efektif, apakah
kurikulumnya dapat dilaksanakan, dan sebagainya. Guru-guru bersama kepala
sekolah dapat bekeja sama untuk memecahkan masalah-masalah yang mencangkup
proses pembelajaran tersebut. Untuk itu, kepala sekolah dan guru-guru harus
dikembangkan kemampuannya dalam melakukan kajian serta analisis agar semakin
peka dan memahami dengan cepat cara-cara pemecahan masalah pendidikan di
sekolahnya masing-masing.
Dengan
MBS, pemecahan masalah internal sekolah, baik yang mencangkup proses
pembelajaran maupun sumber daya pendukungnya cukup dibicarakan di dalam sekolah
dengan masyarakatnya, sehingga tidak perlu diangkat ketingkat pemerintah daerah
apalagi ke tingkat pusat yang “jauh panggang dari api” itu. Tugas pemerintah (
pusat dan daerah) adalah memberikan fasilitas dan bantuan pada saat sekolah dan
masyarakat menemui jalan buntu dalam suatu pemecahan masalah. Fasilitas ini
mungkin berbentuk capacity building,
bantuan teknis pembelajaran atau manajemen sekolah, subsidi bantuan sumber daya
pendidikan, serta kurikulum nasional dan pengendalian mutu pendidikan, baik
tingkat daerah maupun nasional. Agar dapat memberikan fasilitas secara
objektif, pemerintah perlu didukung oleh sistem pendataandan pemetaan mutu
pendidikan yang andal dan terbakukan secara nasional.
C.
MENUJU
OTONOMI PADA TINGKAT SEKOLAH-SEKOLAH
Paradigma
MBS beranggapan bahwa satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju peningkatan
mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas
pendidikan. Kepala sekolah,guru, dan masyarakat adalah pelaku utama dan
terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala keputusan
mengenai penanganan persoalan pendidikan apda tingakat mikro harus dihasilkan
dari interaksi ketiga pihaktersebut. Masyarakat adalah stakeholder pendidikan
yang memiliki kepentingan akan keberhasilan . pendidikan disekolah, karena
mereka adalah pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah maupun pajak,
sehingga sekolah-sekolah seharusnya bertanggung jawab terhadap masyarakat.
Namun
demikian, entitas yang disebut “masyarakat” sangat kompleks dan tak terbatas (borderless) sehingga sangat sulit bagi
sekolah untuk berinteraksi dengan masyarakat sebagai stakeholder pendidikan. Untuk penyelenggaraan pendidikan di
sekolah, konsep masyarakat perlu disederhanakan (simplified) agar menjadi mudah lagi sekolah melakukan hubungan
dengan masyarakat tersebut.
Penyederhanaan
konsep masyarakat tersebut dilakukan melalui “perwakilan” fungsi stakeholder, dengan jalan membentuk
Komite Sekolah (KS) pada setiap sekolah dan Dewan Pendidikan (DP) disetiap
kabupaten/kota. DP-KS sedapat mungkin bisa merepresentasikan keragaman yang ada
agar benar-benar dapat mewakili masyarakat. Dengan demikian, interaksi antara
sekolah dan masyarakat dapat diwujudkan melalui mekanisme pengambilan keputusan
antara sekolah-sekolah dengan Komite Sekolah, dan interaksi antara para pejabat
pendidikan dipemerintah kabupaten/kota dengan Dewan Pendidikan. Dalam fungsi
yang melekat pada DP dan KS, yaitu fungsi pemberi pertimbangan dalam
pengambilan keputusan, fungsi control dan akuntabilitas public, fungsi
pendukung (supports), serta fungsi
mediator antara sekolah dengan masyarakat yang diwakilinya.
Kemandirian
setiap satuan pendidikan adalah salah satu sasaran dari kebijakan
desentralisasi pendidikan sehingga sekola-sekolah menjadi lembaga yang otonom
dengan sendirinya. Namun, tentu saja pergeseran menuju sekolah-sekolah yang
otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta
perencanaan yang hati-hati serta mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu
mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang
bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan
pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan didalam
suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan
demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis
dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan
transparan.
Palaksanaan
desentralisasi pendidikan sebaiknya tidak dilakukan melalui suatu mekanisme
penyerahan “kekuasaan birokrasi” dari pusat ke daerah, karena kekuasaan telah
terbukti gagal dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Melalui strategi
“desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan”, depdiknas tidak hanya
berkepentingan dalam mengembangkan kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan,
tetapi juga berkepentingan dalam mewujudkan otonomi satuan pendidikan,
Depdiknas memiliki keleluasaan untuk membangun kapasitas setiap penyelenggara
pendidikan, yaitu sekolah-sekolah. MBS mengembangkan satuan-satuan pendidikan
secara otonom karena mereka adalah pihak yang paling mengetahui operational
pendidikan. Sesuai dengan strategi ini,
sekolah bukan bawahan dari birokrasi pemerintah daerah, tetapi sebagai
lembaga profesional yang bertanggung jawab terhadap klien atau stakeholder yang diwakili oleh Komite
Sekolah dan Dewan Pendidikan. Keberhasilan pendidikan disekolah tidak diukur
dari pendapat para birokrat, tetapi dari kepuasan masyarakat atau stakeholder. Fungsi pemerintah adalah
fasilitator untuk mendorong sekolah-sekolah agar berkembang menjadi lembaga
profesional dan otonom sehingga mutu pelayanan mereka memberi kepuasan terhadap
komunitas basisnya, yaitu masyarakat.
Perlu
juga dipahami bahwa pengembangan paradigma MBS bukanlah kelanjutan apalagi
“kemasan baru” dari Badan Pembantu Pelaksana Pendidikan (BP3). Adalah keliru
jika DP dan KS adalah alat untuk “panarikan iuran”, karena “penarikan iuran”
yang dilakukan oleh BP3 terbukti tedak berhasil memobilisasi partisipasi dan
tanggung jawab masyarakat. Akan tetapi, yang harus lebih dipahami adalah fungsi
dewan dan Komite sebagai jembatan antara sekolah dan masyarakat. Sekolah yang
hanya terbatas personalianya, akan sangat dibantu jika dibuka kesempatan bagi
masyarakat luas untuk ikut memikirkan pendidikan di sekolah-sekolah. Sekolah
yang sangat tertutup bagi kontribusi pemikiran dari masyarakat harus kita
akhiri, dan dengan MBS dibuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk
ikut serta memikirkan pendidikan di sekolah. Dengan konsep MBS, masyarakat akan
merasa memiliki dan mereka akan merasa bertanggung jawab untuk keberhasilan
pendidikan didalamnya. Jika ini dapat diwujudkan, jangankan “iuran”, apapun
yang meraka miliki ( uang, barang, tenaga, pikiran, bahkan kesempatan) akan
mereka abdikan untuk kepentingan pendidikan anak-anak bangsa yang berlangsung
di sekolah-sekolah.
Namun,
untuk sampai pada kemampuan untuk mengurus dan mengatur penyelengaraan
pendidikan di setiap satuan pendidikan, diperlukan program yang sistimatis
dengan melakukan capacity building.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan setiap setuan pendidikan
secara berkelanjutan, baik untuk melaksanakan peran-peran manajemen pendidikan
maupun peran-peran pembelajaran, sesuai dengan butir-butir yang disebut diatas.
Namun, kegiatan capacity building
tersebut perlu dilakukan secara sistimatis melalui penahapan sehingga menjadi
proses yang dilakukan secara berkesinambungan arahnya menjadi jelas (straight foreward) dan terukur (measurable). Terdapat emapt tahapan
pokok yang perlu dilalui dalam pelaksanaan capacity
building bagi setiap satuan pendidikan. Masing-masing tahap pengembangan
dilakukan terhadap setiap kelompok satuan pendidikan yang memiliki
karakteristik atau tahap perkembangan yang setara. Capacity building dilakukan untuk meningkatkan (up-grade) suatu kelompok satuan pendidikan pada tahap perkembangan
tertentu ke tahap berikutnya. Keempat tahap perkembangan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1.
Tahap
Paraformal
Satuan
pendidikan yang termasuk kedalam kelompok ini adalah yang belum memenuhi
standar teknis, yaitu belum dapat memiliki sumber-sumber pendidikan (misalnya
guru, prasarana, sarana pendidikan, dan sebagainya) yang memadai untuk
menyelenggarakan pelayanan pendidikan secara minimal. Akibat dari kurangnya
sumber-sumber pendidikan, satuan pendidikan ini belum memenuhi standar teknis
sebagai persyaratan minimal persatuan pendidikan yang siap untuk dikembangkan
kemampuannya. Untuk dapat mulai dikembangkan kemampuannya, satuan-satuan
pendidikan ini perlu dilengkapi fasilitas minimal pendidikannya terlebih dahulu
agar dapat dinaikkan tahap berikutnya, yaitu tahap formalitas.
2.
Tahap
Formalitas
Satuan
pendidikan yang masuk ke dalam kelompok ini adalah mereka yang sudah memiliki
sumber-sumber pendidikan yang memadai secara minimal. Satuan-satuan pendidikan
ini sudah mencapai standar teknis secara minimal, seperti dalam jumlah dan
kualifikasi guru, jumlah dan kualitas kelas, jumlah dan kualitas buku
pelajaran, serta jumlah dan kualitas fasilitas pendidikan lainnya.
Terhadap
satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai standar minimal teknis ini, capacity building dilakukan melalui
peningkatan kemampuan administrator (seperti kepala sekolah) dan pelaksana
pendidikan ( seperti guru-guru, instruktur, tutor dan sebagainya) agar dapat
melaksanakan pengelolaan pendidikan
secara efesien serta dapat menyelenggarakan proses pembelajaran yang kreatif
dan inovatif. Jika pengembangan kemampuan ini sudah berhasil dilakukan maka
satuan-satuan pendidikan ini dapat ditingkatkan ketahap perkembangan berikutnya,yaitu tahap
transisional.
Keberhasilan
satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap ini diukur dengan menggunakan
standar pelayanan minimum tingkat sekolah, terutama yang menyangkup
ukuran-ukuran output pendidikan,
seperti tingkat penurunan putus sekolah, penurunan mengulang kelas, tingkat
kemampuan para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah.
3.
Tahap
Transisional
Satuan
pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini adalah yang sudah mampu
memberikan pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti kemampuan
mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal, meningkatnya
kreativitas guru, pendayagunaan perpustakaan sekolah secaraa optimal, kemampuan
untuk menambah anggaran dan dukungan fasilitas pendidikan dari sumber
masyarakat, dan kemampuan lainnya yang mendukung best practices pelayanan pendidikan pada setiap satuan pendidikan.
Jika satuan-satuan pendidikan sudah mencapai tahap transisional, selanjutnya
dapat dinaikkan kelasnya ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu tahap otonom (meaning).
4.
Tahap
Otonomi
Satuan
pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini dapat dikategorikan
sebagai tahap penyelesaian capacity
building menuju profesionalisme satuan pendidikan dan pelayanan pendidikan
yang bermutu. Jika sudah mencapai tahap otonom, setiap satuan pendidikan sudah
mampu memberikan pelayanan diatas SPM sekolah (yaitu Standar Kompetensi
Minimum) dan akan bertanggung jawab terhadap klien serta stakeholder pendidikan lainnya.
Darai
tahap-tahap perkembangan tersebut, capcity
building dilakukan dengan strategi yang berbeda-beda antara kelompok satuan
pendidikan satu dengan satuan pendidikan lainnya. Strategi tersebut adalah
sebagai berikut.
a. Terhadap
kelompok satuan pendidikan pada tahap praformal, strategi capacity building dilakukan umumnya melalui upaya memperlengkapi
satuan pendidikan dengan sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan
kebutuhan mereka secara minimal, tetapi memadai untuk dapat mencapai tahap
perkembangan berikutnya.
b. Terhadap
kelompok satuan pendidikan yang sudah mencapai standar teknis (tahap
formalitas), strategi capacity building
dilakukan melalui pelatihan dan pengembangan kemampuan tenaga kependidikan,
seperti kepala sekolah agar mampu mendayagunakan sumber-sumber pendidikan
secara optimal dengan tanpa banyak pemborosan. Bagi tenaga pengajar dikembangkan
kemampuan mereka untuk dapat melaksanakan proses pengajaran secara kreatif dan
inovatif, serta dapat melakukan penelitian terhadap pendekatan pembelajaran
yang paling efektif. Jika satuan pendidikan sudah mencapai kemampuan ini,
mereka dapat ditingkatkan ketahap perkembangan berikutnya, yaitu tahap
transisional.
c. Terhadap
satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap transisional, perlu dikembangkan
sistem manajemen berbasis sekolah yang didukung oleh partisipasi masyarakat
dalam pendidikan serta mekanisme akuntabilitas pendidikan melalui fungsi Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah. Jika manajemen berbasis sekolah, partisipas
masyarakat, dan akuntabilitas pendidikan dapat dikembangkan maka satuan pendidikan sudah dapat dinaikkan
kelasnya ke tahap otonomi.
d. Strategi
yang sangat mendasar dalam capacity
building adalah pengembangan sisitem indikator yang dapat mengukur
ketercapaian standar teknis dan standar minimal pelayanan pendidikan disetiap
satuan pendidikan. Sistem indicator ini perlu didukung oleh sisitem pendataan
pendidikan yang akurat, relevan, lengkap dan tepat waktu agar setiap saat dapat
diukurdan dilakukan monitoring
terhadap tahap perkembangan yang sudah dicapai oleh masing-masing satuan
pendidikan. Sistem pendataan ini harus dilakukan dari tingkat satuan
pendidikan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi sampai dengan tingkat nasional.
D.
PENGELOLAAN
PENDIDIKAN PADA TINGKAT SEKOLAH
Peran
dan fungsi peran pendidikan dan Komite Sekolah tidak dapat dipisahkan dari
pelaksanaan manajemenpendidikan ditingkat sekolah. Beberapa aspek manajemen
yang secara langsung dapat diserahkan sebagai urusan yang menjadi kewenangan
tingkat sekolah adalah sebagai berikut:
Pertama ,
menetapkan visi,misi,strategi,tujuan,logo,lagu,dan tata tertib sekolah. Urusan
ini amat penting sebagai modal dasar yang harus dimiliki sekolah. Setiap
sekolah hendaknya telah dapat menyusun dan menetapkan sendiri
visi,misi,strategi,tujuan,logo,lagu,dan tata tertib sekolah. Jika masa lalu
sekolah lebih dipandamg sebagai lembaga birokrasi yang selalu menunggu perintah
dan petunjuk dari atas,dalam era otonomi daerah ini sekolah harus telah
memiliki kesadaran untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Dalam hal
ini,sekolah harus menjalin kerja sama sebaik mungkin dengan orang tuadan
masyarakat sebagai mitra kerjanya. Bahkan dalam menyusun program kerjanya
sebagai penjabaran lebih lanjut dari visi,misi,strategi dan tujua sekolah
tersebut,orang tua dan masyarakat yang tergabung dalam Komite Sekolah serta
seluruh warga sekolah harus dilibatkan secara aktif dalam menyusun program
kerja sekolah ,dan sekaligus lengkap dengan Rencana Pendapatan dan Belanja
Sekolah (RAPBS).
Kedua ,memiliki
kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tersedia
,fasilitas yang ada,jumlah guru,dan tenaga administratif yang dimiliki.
Berdasarkan sumber daya pendukung yang dimilikinya,sekolah secara bertanggung
jawab harus dapat menentukan sendiri jumlah siswa yang akan diterima,syarat
siswa yang akan diterima ,dan persyaratan lain yang terkait. Beberapa ketentuan
yang ditetapkan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota tentu saja perlu
mendapatkan pertimbangan secara bijak.
Ketiga ,menetapkan
kegiatan imtrakurikuler dan ekstrakurikuler yang akan diadakan dan dilaksanakan
oleh sekolah. Dalam hal ini,dengan mempertimbangkan kepentingan daerah dan masa
depan lulusannya,sekolah perlu diberikan kewenangan untuk melaksanakan
kurikulum nasional dengan kemungkinan menambah atau mengurangi muatan kurikulum
dengan meminta pertimbangan kepada Komite Sekolah. Kurikulum muatan lokal
,misalnya dalam mengambil kebijakan untuk menambah mata pelajaran seperti
Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya ,komputer,dan sebagainya. Kebijak
tersebut diambil setelah meminta pertimbangan dari Komite Sekolah,termasuk
resiko anggaran yang diperlukannya. Dalam kaitannya dengan penetapan kegiatan
ekstrakurikuler ,sekolah juga harus meminta pendapat siswa dalam menentukan
kegiatan ekstrakurikuler yang akan diadakan olehsekolah.
Oleh
karena itu,sekolah dapat melakukan pengelolaan biaya operasional sekolah,baik
yang bersumber dari pemerintah Kabupaten /Kota maupun dari masyarakat secara
mandiri. Untuk mendukung program sekolah yang telah disepakati oleh Komite
Sekolah diperlukan ketepatan waktu dalam pencairan dana dari pemerintah
kabupaten/kota. Oleh karena itu , praktik birokrasi yang menghambat kegiatan
sekolah harus dikurangi.
Keempat ,pengadaan
sarana dan prasarana pendidikan,termasuk buku pelajaran dapat diberikan kepada
sekolah ,dengan memperhatikan standar dan ketentuan yang ada. Misalnya buku
murid tidak seenaknya diganti oleh sekolah ,atau buku murid yang akan dibeli
oleh sekolah adalah yang telah lulus penilaian. Pemilihan dan pengadaan sarana
dan prasarana pendidikan di sekolah dapat dilaksanakan oleh sekolah ,dengan
tetap mengacu pada standar dan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
atau Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Kelima ,penghapusan
barang dan jasa dapat dilaksnakan sendiri oleh sekolah ,dengan mengikuti
pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah Provinsi dan Kabupaten. Hal yang biasa
terjadi ,karena kewenangan penghapusan itu tidak jelas,barang dan jasa yang ada
di sekolah tidak pernah dihapuskan,meskipun ternyata barang dan jasa sama
sekali telah tidak berfungsi atau malah telah tidak ada barangnya.
Keenam ,
proses pengajaran dan pembelajaran ,ini merupakan kewenangan profesional sejati
yang dimiliki oleh lembaga pendidikan sekolah. Kepala sekolah dan guru secara
bersama-sama merancang proses pengajaran dan pembelajaran yang memungkinkan
peserta didik dapat belajar dengan lancar dan berhasil. Proses pembelajaran
yang aktif,kreatif,efektif,dan menyenangkan direkomendasikan sebagai model
pembelajaran yang akan dilaksanakan oleh sekolah. Pada masa sentralisasi
pendidikan ,proses pembelajaran pun diatur secara rinci dalam kurikulum
nasional. Dalam era otonomi daerah ,kurikulum nasional sedang dalam proses
penyempurnaan menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dengan KBK
ini,diharapkan para guru tidak akan terpasung lagi kreativitasnya dalam
melaksanakan dan mengembangkan kurikulum.
Ketujuh ,urusan
teknis edukatif yang lain sejalan dengan konsep Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (MPMBS),merupakan urusan yang sejak awal harus menjadi
tanggung jawab dan kewenangan setiap satuan pendidikan.
E. PEMBERDAYAAN KOMITE
SEKOLAH DAN DEWAN PENDIDIKAN
Desentralisasi pendidikan di tingkat
sekolah merupakan satu bentuk desentralisasi yang langsung sampai ke ujung
tombak pendidikan dilapangan. Jika kantor cabang dinas pendidikan kecamatan dan
dinas pendidikan Kabupaten/Kota lebih memiliki peran sebagai fasilitator dalam
proses pembinaan ,pengarahan,pemantauan,dan penilaian maka sekolah seharusnya
diberikan peran nyata dalam perencanaan ,pelaksanaan dan pelaporan. Hal ini
disebabkan oleh proses interaksi edukatif di sekolah merupakan inti dari proses
pendidikan yang sebenarnya. Oleh karena itu ,bentuk desentralisasi pendidikan
yang paling mendasar adalah yang dilaksanakan oleh sekolah,dengan menggunakan
Komite Sekolah sebagai wadah pemberdayaan peran serta masyarakat dan dengan
menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai proses pelaksanaan layanan
pendidikan secara nyata di dalam masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor
25tahun 2000tentang Progran Pembangunan Nasional(propenas) 2000-2004,dalam
rangka pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat perlu dibentuk Dewan Pendidikan
di tingkat Kabupaten atau kota da Komite Sekolah tingkat satuan
pendidikan. Amanat rakyat ini sejalan dengan konsepsi
desentralisasi pendidikan ,baik di tingkat Kabupaten/Kota maupun di tingkat sekolah.Amanat rakyat
dalam undang-undang tersebut telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam Kepmendiknas tersebut disebutkan bahwa
peran yang harus diemban Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah sebagai :
1.
Advisory agency
(pemberi pertimbangan)
2.
Supporting agency
(pendukung kegiatan layanan pendidikan)
3.
Controling agency
(pengontrol kegiatan layanan pendidikan )
4.
Mediator (penghubung
atau pengait tali komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah)
Untuk
dapat memberdayakan dan meningkatkan peran masyarakat ,sekolah harus dapat
membina kerja sama dengan oarng tua dan masyarakat,menciptakan suasana kondusif
dan menyenangkan bagi peserta didik dan warga sekolah. Itulah sebabnya
paradigma MBS mengandung makna sebagai manajemen partisipatif yang melibatkan
peran sereta masyarakat sehingga semua kebijakan dan keputusan yang diambil
adalah kebijakan dan keputusan bersama. Dengan demikian ,prinsip kemandirian
dalam MBS adalah kemandirian dalam nuansa kebersamaan. Hal ini merupakan
aplikasi dari prinsip-prinsip yang disebut sebagai total quality management ,melalui suatu mekanisme yang dikenal dengan
konsepsi total football dengan
menekankan pada mobilisasi kekuatan secara sinergis yang mengarah pada satu
tujuan,yaitu peningkatan mutu dan kesesuaian pendidikan dengan pengembangan
masyarakat.
1.
Penyusunan
Rencana dan Program
Sebagai
ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan ,sekolah bertanggung jawab dalam
menentukan kebijakan sekolah dalam melaksanakan kebijakan pendidikan yang telah
ditentukan oleh pemerintah. Sebagai penyelenggara dan pelaksana kebijakan
pendidikan nasional,sekolah bertugas menjabarkan kebijakan pendidikan nasional
menjadi program-program operasional penyelenggara pendidikan di masing-masing
sekolah. Program-program tersebut terdiri dari penyusunan dan pelaksanaan
rencana kegiatan mingguan ,bulanan,semesteran,sertatahunan yang sesuai dengan
arah kebijakan serta kurikulum yang telah ditetapkan,baik pada tingkat
pusat,provinsi ,maupun Kabupaten/Kota. Setiap rencana dan program yang disusun
serta dilaksanakan di sekolah harus mengacu pada standar pelayanan minimum
(SPM) yang diperankan untuk pemerintahan Kabupaten/Kotaserta standar teknis yang
diterapkan untuk masing-masing satuan pendidikan. Untuk dapat memerankan fungsi
ini ,Komite Sekolah menjadi “pendamping”bahkan “penyeimbang”bagi
sekolah-sekolah. Oleh karena itu setiap rencana dan program yang disusun oleh
sekolah dapat diberikan masukan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat yang
diwakili oleh Komite Sekolah yang dimaksud. Atas nama masyarakat yang
diwakilinya ,Komite Sekolah dapat menyatakan “setuju”atau “tidak
setuju”terhadap rencana dan program pendidikan yang disusun oleh sekolah.
Selain
melaksanakan kurikulum yang telah ditetapkan dari pusat, provinsi,dan
Kabupaten/Kota ,sekolah-sekolah dapat juga menyusun program pendidikan life skills yang sesuai dengan keadaan
dan kebutuhan pada masyarakat sekitar. Dalam penyusunan program pendidikan life skills. Komite Sekolah dapat
membantu sekolah-sekolah untuk mengumpulkan fakta-fakta mengenai kebutuhan
serta potensi sumber daya yang tersediadi dalam masyarakat untuk diterjemahkan
kedalam program pendidikan life skills
yang dapat dilaksanaka oleh sekolah. Mekanisme yang mungkin dapat dilakukan
adalah melalui rapat Komite Sekolah dengan sekolah yang akan dilaksanakan
setiap semester atau tahunan,untuk menyusun ,memperbaiki serta menyesuaikan
rencana dan program semester berikutnya.
2.
Penyusunan
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS)
Dalam
fungsinya sebagai pelaksana pendidikan yang otonom ,sekolah berperan dalam
menyusun RAPBS setiap akhir tahun ajaran untuk digunakan dalam tahun ajaran
berikutnya. Program-program yang sudah dirumuskan untuk satu semester atau satu
ajaran ke depan perlu dituangkan ke dalam kegiatan-kegiatan serta anggarannya
masing-masing sesuai dengan pos-pos pengeluaran pendidikan ditingkat sekolah.
Dari sisi pendapatan ,seluruh jenis dan sumber pendapatan yang diperoleh
sekolah setiap tahun harus dituangkan dalam RAPBS ,baik yang bersumber dari
pemerintah pusat ,pemerintah provinsi ,pemerintah Kabupaten/Kecamatan ,maupun
sumber-sumber lain yang di peroleh secara langsung oleh sekolah-sekolah. Dengan demikian, setiap rupiah yang diperoleh
sekolah dari sumber-sumber tersebut harus sepenuhnya diperhitungkan sebagai
pendapatan resmi sekolah dan diketahui bersama ,baik oleh pihak sekolah (
kepala sekolah,guru-guru,pegawai,serta para siswa)maupun oleh Komite Sekolah sebagai
wakil stakeholder pendidikan.
Dari sisi belanja sekolah,seluruh
jenis pengeluaran untuk kegiatan pendidikan di sekolah harus diketahui
bersama,baik oleh pihak sekolah maupun oleh pihak Komite Sekolah,sesuai dengan
rencana dan program yang telah disusun bersama oleh kedua pihak tersebut. Kedua
sisi anggaran tersebut dituangkan ke dalam suatu neraca tahunan sekolah disebut
dengan RAPBS,yang harus disahkan atas dasar persetujuan bersama antara pihak
sekolah dan Komite Sekolah yang ditandatangani oleh kepala sekolah dan ketua
Komite Sekolah sehingga menjadi APBS pendidikan di tingkat sekolah yang resmi.
Mekanisme ini diperlukan untuk memperkecil penyalahgunaan,baik dalam pendapatan
maupun dalam pengeluaran sekolah sehingga anggaran resmi pendidikan di sekolah
menjadi bertambah serta pendayagunaannya semakin efisien.
3.Penyalahgunaan
Program Pendidikan
Sistem pendidikan pada masa orde
baru,pelaksanaan pendidikan secara langsung dikendalikan oleh sistem birokrasi
dengan mata rantai yang panjang mulai dari tingkat pusat,daerah,bahkan sampai
tingkat satuan pendidikan. Pada waktu itu,sekolah-sekolah adalah bagian dari
sistem birokrasi yang harus tunduk terhadap ketentuan birokrasi. Pengaturan
penyelenggaraan pendidikan pada masa birokrasi dilakukan secara uniform (one first for all)atau
dilakukan secara baku dengan pengaturan dari pusat ,mulai dari perencanaan
pendidikan di sekolah termasuk persiapan mengajar,metodologi dan pendekatan
mengajar,buku dan sarana pendidikan,sampai pada penilaian pendidikan. Dengan
kata lainkepada sekolah-sekolah tidak diberikan kesempatan untuk mengurus dan
mengatur dirinya sendiri dalam pelaksanaan pendidikan. Kepala sekolah tidak
diberikan kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri dalam mengelola sistem
pendidikan untuk memecahkan berbagai permasalahan pendidikan yang sesuai dengan
kondisi sekolahnya masing-masing. Kepada guru-guru juga tidak diberikan
kesempatan untuk berinisiatif atau berinovasi dalam melaksanakan pengajaran
atau pengelola kegiatan belajar murid secara maksimal karena metode mengajar
dan teknik evaluasi diatur secara langsung melalui juklak dan juknis yang
dibuat dari pusat.
Dalam masa desentralisasi pendidikan
ke depan,melalui paradigma MBS sekolah-sekolah diberikan kesempatan
seluas-luasnya untuk mengurus dan mengatur pelaksanaan pendidikan pada
masing-masing sekolah. Pelaksanaan pendidikan di sekolah-sekolah dalam tempat
yang berlainan dimungkinkan untuk menggunakan sistem dan pendekatan
pembelajaran yang berlainan. Kepala Sekolah diberikan keleluasaan untuk
mengelola pendidikan dengan jalan mengadakan serta memanfaatkan sumber-sumber
daya pendidikan sendiri-sendiri asalkan sesuai dengan kebujakan dan standar
yang ditetapkan oleh pusat. Dikarenakan karakteristik setiap murid juga
berbeda-beda secara individual maka pendekatan pembelajaran pun dimungkinkan
berbeda untuk masing-masing murid yang berlainan.
Dalam keadaan seperti itu maka Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah akan dapat melaksanakan peran dan fungsinya
sebagai penunjang dalam pelaksanaan proses pembelajaran yang sejalan denga
kondisi dan permasalahan lingkungan masing-masing sekolah. Komite Sekolah dapat
melaksanakan fungsinya sebagai partner
dari kepala sekolah dalam mengadakan sumber-sumber daya pendidikan dalam rangka
melaksanakan pengelolaan pendidikan yang dapat memberikan fasilitas bagi
guru-guru dan murid untuk belajar sebanyak mungkin,sehingga pembelajaran
menjadi semakin efektif. Komite sekolah bisa ikut serta untuk meneliti berbagai
permasalahan belajar yang dihadapi oleh murid secara kelompok maupun secara
individual sehingga dapat membantu guru-guru untuk menerapkan pendekatan
belajar yang tepat bagi murid-muridnya. Dewan pendidikan pada setiap
Kabupaten/Kota dapat melaksanakan program pendukungan dalam bentuk studi atau
penelitian terhadap berbagai permasalahan pendidikan di sekolah-sekolah agar
dapat memberikan masukan kepada Dinas Kabupaten/Kota untuk menerapkan suatu
kebijakan yang tepat dan kena sasaran. Dewan Pendidikan juga dapat memberikan
penilaian kepada berbagai kebijakan pendidikan yang diterapkan,terutama
menyangkut berbagai dampak yang sudah atau mungkin terjadi dalam penerapan
suatu kebijakan baru.
4. Akuntabilitas
Pendidikan
Pada masa orde baru,satu-satunya
pihak yang berwenang untuk meminta pertanggungjawaban pendidikan ke
sekolah-sekolah adalah pemerintah pusat. Pada waktu itu,pemerintah pusat telah
menempatkan “kaki tangan” nya di seluruh pelosok tanah air melalui
pemeriksa,pengawas,atau para penilik sekolah untuk mengawasi dan meminta
pertanggungjawaban sekolah-sekolah mengenai proses pendidikan yang berlangsung
di sekolah-sekolah. Jika terdapat “penyimpangan administratif’yang dilakukan
oleh kepala sekolah atau guru-guru maka kepada mereka diberikan sanksi
administratif,seperti teguran resmi,penilaian melalui DPK,penundaan kenaikan
gaji berkala,penundaan kenaikan pangkat,dan sejenisnya. Namun penilaian
tersebut lebih banyak diberikan terhadap proses administrasi pendidikan dan
hampir tidak pernah ada sanksi ( punishment)
atau ganjaran (reward) kepada
guru-guru atau kepala sekolah atas dasar hasil-hasil yang dicapai dalam
pembelajaran murid atau lulusan.
Dalam era demokrasi dan
pertisipasi,akuntabilitas pendidikan tidak hanya terletak pada
pemerintah,tetapi bahkan harus lebih banyak pada masyarakat sebagai stakeholder pendidikan. Dewan pendidikan
pada tingkat Kabupaten/Kota perlu menempatkan fungsinya sebagai wakil dari
masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban atas hasil pendidikan dalam
mencapai prestasi belajar murid-murid pada setiap jenis dan jenjang pendidikan.
Dewan pendidikan perlu diberikan kesempatan untuk menyampaikan masukan bahkan
“protes” kepada Dinas Pendidikan jika hasil pendidikannya tidak memuaskan
masyarakat sebagai klien pendidikan. Sama halnya, Komite Sekolah dapat
menyampaikan ketidakpuasan para orang tua murid akan rendahnya prestasi yang
dicapai oleh suatu sekolah. Dewan Pendidikan /Komite Sekolah tidak perlu
melaksanakan kegiatan studi atau penilaian pendidikan tetapi cukup dengan
menggunakan data –data yang tersedia atau hasil-hasil penilaian yang sudah ada
sebagai bahan untuk menyampaikan kepuasan atau ketidakpuasan masyarakat
terhadap Dinas Pendidikan atau kepada masing-masing sekolah. Dengan
demikian,diperlukan suatu mekanisme akuntabilitas pendidikan yang dibentuk
melalui suatu Peraturan Daerah di bidang pendidikan.
E.
PENUTUP
Keberhasilan
dalam pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah sebuah
keniscayaan yang perlu dilakukan secara teliti,cermat,dan terus-menerusnamun
perlu diwaspadai pemberdayaan DP dan KS tersebut tidak mengarah pada perwujudan
birokrasi baru. Yang diharapkan justru sebaliknya,kehadiran DP dan KS adalah
untuk mengurangi bahkan mengikis berbagai dampak negatif dari birokratisasi
yang sangat menggejala di masa-masa lalu. Sesuai dengan undang-undang berlaku
,pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah ,tetapi juga adalah
menjadi tanggungjawab keluarga dan masyakat. DP dan KS pada intinya adalah
wakil masyarakat dan keluarga yang dapat menjadi jalan masuk yang tepat agar
masyarakat dapat berpartisipasi dan rasa ikut memiliki terhadap sistem pendidikan
yang berlangsung di sekolah-sekolah yang ada di lingkungannya masing-masing
0 komentar:
Posting Komentar